Follow me!

Sabtu, 25 Februari 2012

TERIKAT MIMPI

Dor! Dor dor! Dor! Letusan senapan terus bergema di telingaku. Hujan menerjang sekujur tubuhku. Dingin, gelap, kasar. Inilah perang dunia ke 3. Perang modern yang keras, kasar dan tanpa ampun. Ketika nyawaku dapat hilang dalam beberapa detik, aku harus mengambil tindakan dalam separuh detik. Dengan gagah berani aku berteriak, “KABUUUR! MUNDUUUR!”. Dalam satu kedipan mata, kami lenyap tak bersisa dari hadapan musuh. Aku menuju ke markas dengan sepeda motorku yang berkecepatan cahaya. Setelah kuparkirkan sepeda motorku, aku berjalan dengan letih menuju ke kamarku yang sangat indah dan elegan. Karena kekalahanku, akupun merasa kesal. Kubanting tubuhku di atas kasur yang empuk. Berangsur-angsur kekesalanku mulai lenyap. Aku pun mulai mengantuk. Akhirnya kututup kedua mataku. Hangat, empuk, nyaman. Aku tidur dengan damai.

“Cing! Acing! Bangun woi!”
Aku terkejut. Kubuka mataku dan kulihat ibuku berdiri di samping tempat tidurku. “Kamu habis tawuran ya?”, Tanya ibuku. Aku hanya bisa terdiam dan berpikir. Berpikir tentang jawaban yang bisa kuberikan pada ibuku. “Lho, bukannya aku lagi perang?”. Kubalas pertanyaan ibuku dengan pertanyaan.
“Oooh, tadi kamu lagi mimpi perang ya? Kamu teriak MUNDUR!MUNDUR! sambil tertidur. Ibu kira kamu mimpi tawuran”
“APA!? Jadi semua itu hanya mimpi? Diriku kecewa, kuberharap mimpiku nyata. Berjuang demi bangsa dan negara, dengan mengorbankan seribu jiwa”.
“Halah, ga usah bikin puisi! Lebay! Emang kamu kira ini cerpen?! Udah, cepetan mandi sana, terus makan!”.
Ibuku segera berlalu. Kubuka tirai jendelaku. Hangatnya sinaaaaar ………... Mmmmm ………. REMBULAN menerangi jiwaku. “Eh, sekarang masih jam 7 malam ya? Padahal biasanya bangun jam 8 malam. Sepertinya jatah tidur siangku dikorupsi”.
Segera aku menuju ke meja makan. “Lho? Kakak tidak mandi?” Tanya adikku. “Meskipun tidak mandi, hati kakak tidak akan pernah membusuk”.
“Ih! Kakak jorok! Bilang saja malas mandi”
“Mandi sekarang pun percuma. Setelah makan kakak akan tidur”
“Hah! Masih bisa tidur lagi! Kakak tidak gosok gigi?”
“Jika kakak gosok gigi, bulu sikat gigi kakak tidak akan lurus, putih dan bersih lagi. Ada pepatah, sikat gigi yang bersih mencerminkan gigi yang bersih. Maka dari itu, kita harus menjaga sikat gigi kita supaya putih dan bersih seperti baru”
“Heh, kapan ada pepatah kayak gitu? Alasan aja kakak ini. Sudahlah, aku mau makan!”.
Kami pun makan bersama. Adik laki-lakiku bernama Mony. Walaupun taraf pendidikannya masih SD, adikku sering menasehatiku. Sebagai kakak, tentu aku tidak terima bila dinasehati. Jadi, aku selalu bersikap bijak di depan adikku. Setelah makan, seperti yang sudah kurencanakan aku kembali ke kasurku yang nyaman. Aku banting tubuhku ke kasur sekali lagi. Sangat tidak aneh bagiku untuk melakukan hal ini. Ini sudah menjadi kebiasaanku seumur hidup.
------------------------------------------------------------------------
Hari ini, entah mengapa kubolak-balikan tubuhku ke berbagai sisi. Otot-ototku terus berkontraksi. Mataku terbuka lebar.  Akupun hanya bisa memandangi langit-langit kamarku. Harus kuakui, aku tidak dapat tidur hari ini. Aku mulai mencari-cari penyebab dari Insomniaku. Mungkin sebaiknya aku tidak perlu langsung tidur sesudah makan. Itu tidak baik untuk kesehatan. Namun bukan itu penyebabnya!



Segera aku menyadari jawabannya ketika aku mengingat kembali apa yang kupikirkan tadi. Aku berpikir tentang mimpi burukku di siang hari. Aku kalah perang! Bagaimana kelangsungan hidup tentaraku? Bagaimana dengan negaraku? Apakah aku akan dipecat dari kedudukanku sebagai jendral? Aku harus balas dendam! Akan kuhancurkan semua musuhku! Aku ingin cepat-cepat tidur lagi. 
Pikiran-pikiranku yang kurang tenang inilah yang justru menjadi penghambat tidurku. Menyadari hal itu, aku pun tertawa sendiri. "HAHAHAHAAA......WUAHAHAHAHAA.......". Jika ada yang melihatku, mungkin aku akan dikira orang gila. Sangat konyol bila seseorang tidak dapat tidur karena mimpinya sendiri. Selain itu tertawa sendiri di malam hari sambil berguling-guling di tempat tidur. Ditambah lagi suasana sangat gelap dan tenang. bukankah aku sudah gila?.
Akhirnya akupun memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat tidurku yang empuk. Hatiku terasa gembira. Kuucapkan sebuah puisi dengan lantang, "Aku telah bangun! Bangun untuk menyongsong cahaya masa depan yang indah dan terang. Meskipun cahaya dapat membutakanku, aku tidak akan pernah berhenti membuka mataku. Aku akan melihat! Melihat semua kebenaran dibalik cahaya masa depan". Tiba-tiba ibuku masuk ke kamar, "Hoi, bocah kampung! Jam 8 malem teriak-teriak. Gak malu ya didengar tetangga?!. Kalo gak bisa tidur mandi sana!". Aku terkejut melihat ibuku ada disitu. wajahnya tidak terlihat marah. Lama-kelamaan terlihat seperti menahan tawa. Meskipun yang dia katakan barusan terdengar kasar, namun aku yakin ibuku sedikit bercanda. Memang begitulah sifat ibuku. Sebaiknya aku segera mengakhiri kegilaanku. Jika tidak, mungkin ibuku akan ikut gila. 
Akupun menuju ke kamar mandi. Selagi mandi, aku terus memikirkan banyak hal. Sekarang masih jam 8 malam. Itu artinya aku masih punya banyak waktu sampai aku bisa tidur. Apalagi, adikku masih terjaga. Selain aku, tidak ada seorang pun di keluargaku yang punya kebiasaan tidur lebih awal. Biasanya adikku tidur jam 10 malam sedangkan orang tuaku tidur jam 11 malam. Aku memang sering dikritik oleh adikku karena aku suka tidur. Terutama karena tidur lebih awal adalah kebiasaan anak SD. rasanya posisiku sedikit terbalik dengan adikku. Tapi sekarang berbeda. Aku benar-benar tidak dapat tidur.
Setelah mandi, aku bermain game bersama adikku untuk menambah rasa kantuk. Waktu demi waktu berlalu. Langit pun mulai mengantuk. Kulihat jam di dinding yang terus mengetik-ngetik. Jam 10! Ini rekor waktu terlamaku untuk tidak tidur di malam hari. Kurasa perlu kukirimkan rekorku ke “World Guinness Book of Record”.
Permainan dihentikan. Aku dapat melihat daya listrik yang ada di mata adikku tinggal 5 watt. Adikku seperti biasa, mengotori bulu sikat giginya dengan mengosok gigi. Kemudian dia masuk ke kamarnya dengan langkah kaki yang loyo dan dapat kurasakan kegelapan di dalam kamar tersebut. Aku pun merasa kesepian.
Mungkin sudah waktuku untuk tidur. Kurasa aku gagal memasukan rekorku ke “World Guinness Book of Record” . Jika aku bisa begadang sampai jam 12, mungkin masih ada harapan untuk masuk rekor dunia. Namun, aku dapat merasakan energi tubuhku tinggal 8,6913 Joule. Aku melangkah, lebih lemah dan lembut dari pada adikku. Untuk berjalan ke kamar saja sudah sangat berat bagaikan mendaki gunung “Olimpus Mon”, gunung terbesar di planet mars. Gosok gigi? Sudahlah, lupakan saja soal gosok gigi. Otakku tidak cukup energi untuk memikirkan hal itu.
Sekali lagi kubanting tubuhku di kasurku yang lembut dan nyaman. Dengan bahagia kututup mataku. Aku pun mati dengan tenang dan masuk Surga.
--------------------------------THE END---------------------------------
“Hallo?. Haloo? Apakah ini mimpi?” Kutampar pipiku keras-keras. PLAK! “Sakiiiiit. Kenapa aku memukul pipiku? Sekarang aku justru benar-benar yakin bahwa aku masih terjaga”. Kulihat kembali langit-langit kamarku. “Aku yakin bahwa sekilas tadi aku bermimpi. Sungguh! Aku masih ingat berada di medan perang”. Huf. Betapa pun aku memaksakan diriku untuk yakin bahwa itu mimpi, pada akhirnya aku tersadar bahwa aku sedang berada di kasur sambil memikirkan kelanjutan dari perangku. “Aku menyerah! Aku memang belum tertidur”. Kepalaku mulai terasa tidak nyaman. Penuh, pekat, gelap. Apakah ini yang namanya stress? Ya! Aku mulai frustasi. “Aku harus tidur! Te-I-De-U-Er. TIDUR!”.
Aku tidak dapat berpikir lagi. Kupaksakan diriku untuk tidur. “Ayo cepat tidur! Cepat tidur bodoh! *&%#@$&*”. Aku mengatai diriku sendiri dengan kata-kata yang tidak wajar. “Dasar Tahu, Rawon, Pecel, Tempe Penyet! Cepat tidur Kodok! Tolong lakukan apa pun asal bisa tidur!” Bingung. Kuremas rambutku. “ARRGH!”. Aku mulai berbicara dalam bahasa Italia, “Spaghetti cappuccino carbonara fettuccini numero uno!”.
Selama berjam-jam mengalami error, pada akhirnya pikiranku kembali tenang. Beban dipikiranku yang se-gunung Olimpus sudah tinggal se-lusin tissue. Aku mulai berpikir dengan rasional. “Aku harus menghilangkan keteganganku dahulu”. Aku pun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian mengeluarkannya. Sayangnya, CO2 aku keluarkan secepat kilat dan kemudian mulai menghirup lagi. CO2 kedua aku keluarkan dengan terburu-buru pula. “Sepertinya aku masih sedikit tegang. Aku akan coba dengan menarik napas pendek”.
Kali ini aku hanya menghirup sedikit udara. Aku pun menghembuskannya dengan sangat cepat. Semua keteganganku seakan telah menyusut pada setiap udara yang aku hembuskan. Aku dapat merasakan dengan jelas sentuhan angin yang menggetarkan bulu hidungku. Kemudian aku merasakan hangatnya angin yang keluar dari kedua lubang hidungku. Begitu nyaman, hangat, menyenangkan.
Bukannya memperlambat laju nafasku, aku justru mempercepatnya. Aku bernafas begitu cepat sampai pita suaraku ikut bergetar. Pada akhirnya, aku hanya menghembuskan udara dengan frekuensi yang tinggi. Aku pun tidak bisa menahannya lagi. Aku mulai tertawa. Tertawa lagi seperti orang gila. “HUAHAHAHAHAHA!”. Dengan impuls kecepatan dewa, aku membungkam mulutku. “PFFT! PFFUFUFUFUFU!” Aku berusaha menghentikan tawaku yang belum habis. Kali ini benar-benar memalukan. Langit sudah lebih gelap dan pekat dari sebelumnya. Namun aku justru tertawa lebih keras. Aku dapat membayangkan bahwa ibuku akan benar-benar marah.
Aku mulai khawatir ibuku akan datang. Kunyalakan kembali lampu kamarku untuk melihat jam yang berdetik. Cahaya lampu yang tiba-tiba muncul menyakiti mata. Akupun meletakkan jari-jari tanganku di kedua mataku. pupil mataku mulai beradaptasi menyesuaikan cahaya. Pelan-pelan kulirik jam di dinding. “JAM 12!”. Aku terkejut. Aku benar-benar sudah memecahkan rekor dunia. Hebatnya lagi, ibuku sudah tertidur dan tidak akan repot-repot bangun untuk memarahiku. “Tunggu! Kenapa aku senang? Ini tidak baik! Waktu tidurku semakin menipis. Aku harus segera mencari cara untuk tidur!”
Aku mulai berpikir kembali dengan rasional. Ketika aku berbaring dan memejamkan mataku, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang perang. Hal ini sangat menganggu tidurku. Rasanya bagaikan diikat oleh mimpiku sendiri. Jika ikatan perang itu bisa kulepaskan, maka aku yakin bahwa aku dapat tidur dengan tenang.
Cahaya kembali kupadamkan. Kubanting tubuhku ke kasur. Aku pun sudah mulai merasa bosan mengulang kalimat itu. Kali ini tekadku sudah bulat. Aku tidak akan membiarkan kasurku beristirahat lagi. Akan kuserahkan semua beban tubuhku untuk ditahan oleh pegas-pegas yang ada dalam kasurku. Tubuhku tidak akan kubiarkan lepas dari kasurku meskipun aku harus mengompol. Kupejamkan mataku kembali. Aku pun bosan mengulang kalimat itu. Kali ini aku tidak akan membanting tubuhku ke kasur dan memejamkan mataku lagi.
Suasana mulai sunyi. Aku dapat merasakan ketenangan dan kehangatan yang keluar dari selimutku. Namun aku masih membolak-balikan tubuhku. “Tidak! Kali ini aku tidak akan bergerak!”, tekadku dalam hati. Kali ini aku benar-benar tidak bergerak. Dapat kurasakan lem yang merekatkanku dengan kasurku. Sama sekali tidak bergerak. Inikah kekuatan tekad? Aku mulai bersemangat. Bersemangat untuk tidur. “Apa yang akan kulakukan setelah ini? Aku akan biarkan diriku tidur dengan tenang”.
Tidak ada orang yang dapat tidur dengan pikiran kosong. Begitu pula aku. Pikiranku mulai menuju ke perang itu lagi. “MUNDUUR! MUNDUUR!”. Kata-kata itu terus bermunculan dibenakku. “Tidak! Aku tidak akan membahasnya lagi. Pergi kau! Jangan dekati pikiranku!”. Aku berusaha untuk melupakan perang itu. Namun, semakin aku mencoba melupakannya semakin kuat pikiran itu tergambar dalam benakku. Kemudian aku mulai membayangkan kelanjutan dari mimpiku.
Aku tak dapat berharap lagi. Masih dalam kondisi tak bergerak, aku mulai berpikir kembali secara rasional. Betapa keras pun aku mencoba, mengapa tetap tidak bisa mengusir pikiran itu? Meskipun aku membayangkan tentang perang itu, belum tentu mimpiku yang berikutnya menjadi lanjutan dari perang itu. Bahkan, aku tidak pernah mengalami hal seperti melanjutkan mimpi sebelumnya. Kesimpulannya, kemungkinan untuk melanjutkan mimpi hampir nol persen. Tidak mungkin mimpiku yang berikutnya adalah lanjutan dari mimpiku yang sebelumnya.
 “AAAAAARGH!”, kulempar selimutku ke lantai. Pada akhirnya aku menarik punggungku dan mengambil sikap duduk di atas kasur. “Cih! Padahal aku sudah bertekad untuk tidak bergerak. Sekalian saja aku ke toilet!”. Setelah menciptakan air mancur yang mengalir ke dalam kloset, aku kembali ke tempat tidur dan mulai berpikir.
“Bwush!”. Aku mulai tersadar oleh sesuatu. Sesaat otakku mulai tenang. Aku mulai tersadar oleh kenyataan dari dunia ini. Aku pun mulai membayangkan. Jika saat itu aku tertidur, mungkin aku akan memulai mimpi yang baru. Mimpi yang mungkin tidak lebih seru. Mimpi yang jauh dari perang. Mungkin aku akan bermimpi sedang makan. Sedang bersekolah. Sedang belajar. Mungkin mimpiku justru akan lebih seru. Namun, siapa yang bisa menjamin?. Apapun mimpi baruku, aku akan kecewa karena itu bukan Ending dari mimpiku yang sebelumnya.
Apa yang akan terjadi setelah aku bermimpi? Aku akan mendengar teriakan ibuku. Kemudian aku bangun kesiangan seperti biasa. Tanpa sempat merenungi mimpiku, aku segera pergi ke sekolah. Mendengarkan dongeng yang membosankan dari guru-guru.
 Jalan pikiranku telah berubah. Bukannya menjauhkan pikiran-pikiran tentang perang. Aku justru ingin terus memikirkannya. Tidak peduli apakah aku akan tertidur atau terjaga. Inilah satu-satunya kesempatanku. Di malam yang tenang. Tanpa gangguan dari orang lain. Aku dapat bebas berimajinasi. Tidak akan ada yang melihatku dan meneriakiku. Waktu akan terasa sangat lambat. Berbeda dengan tidur. Tanpa kita sadari sinar matahari telah menembus kamar kita.
Aku pun membentuk tekad yang baru di dalam hatiku. “Kali ini, akan kuakhiri perang itu dengan imajinasiku sendiri”. Kupejamkan mataku. Lagi-lagi kuulang kalimat membosankan ini. Aku pun mulai membayangkan perang itu.
------------------------------------------------------------------------
Udara yang dingin dari AC di kamarku membuatku tertidur dengan pulas. Dalam kondisi yang tenang, telingaku semakin peka mendengarkan segala macam suara. “Klok, klok klok…..”, Ada orang yang berjalan medekatiku. Ketika hawa keberadaannya semakin mendekati bulu kudukku, aku bangun. “CIAAT!”. Aku menangkap dan menahan tubuh orang itu. “Siapa kau!”. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. “Jendral Rotwood!”. Jendral Rotwood berteriak dengan keras, “SERANG!”. Tiba-tiba kulihat pasukan-pasukanku masuk ke kamarku dengan membawa senapan listrik.
“Apakah kalian semua penghianat!?”, teriakku.
“Jendral Shinard, sejak awal kami adalah mata-mata. Kami tidak pernah punya kesetiaan pada negaramu. Keberadaanmu merupakan ancaman bagi kami”.
“Apa kalian pikir bisa membunuhku semudah itu!”. Kuangkat tubuh jendral Rotwood untuk kujadikan tameng. Jendral Rotwood dengan ketakutan berteriak-teriak, “JANGAN TEMBAK!”. Sesaat prajurit-prajurit itu memandang satu sama lain. Salah satu orang menganggukan kepala.
“TEMBAK!”, teriak orang itu. Tanpa ampun mereka menembakiku dan jendral Rotwood. Otot, tulang, darah, organ-organ. Semua bagian dari tubuh jendral Rotwood kujadikan tameng. Bersembunyi dibalik tubuh pun tiada berguna. Senapan listrik tidak memiliki peluru. Hanya mengunakan baterai yang tahan lama. Mereka dapat menembakiku terus-menerus selama berjam-jam tanpa henti. Aku pun hanya bisa mengharapkan bantuan.
“NGUIIIIING NGUIIIIIING NGUIIIING………!” Suara sirene mengetarkan kamarku. Kami semua tahu maksud dari suara itu. Di era yang modern ini, perang dunia ke-3 menjadi perang yang sangat mengerikan. Senjata-senjata biologis dan senjata api yang berdaya penghancur dahsyat mewarnai medan perang ini. Sirene tersebut merupakan pertanda nuklir yang mendekati markasku.
Kami semua mulai panik. Prajurit-prajurit itu berhenti menembakiku. Mereka semua menyelamatkan diri mereka sendiri. Ini pastilah perbuatan negaraku. Markas pusat sudah menyadari keberadaan mata-mata di markas ini. Kemungkinan mereka menganggapku sudah mati. Atau mungkin menganggapku sebagai salah satu mata-mata. Aku mulai panik. Namun aku hanya bisa diam di kamarku. Tidak ada gunanya aku lari. Naik helikopter pun tidak menjamin keselamatanku. Nuklir itu beradius 100.000 km. Cukup untuk menghancurkan satu negara.
Lari, aku berlari menuju ruang komunikasi. Kunyalakan salah satu komputer disana. “BATALKAN NUKLIRNYA!”, teriakku melalui Skype. Temanku yang menerima pesan itu segera melaporkannya. Beruntung temanku ada di markas pusat dan sedang sembunyi-sembunyi bermain Skype. Dasar pegawai nakal!. Segera password dimasukan untuk membatalkan nuklir itu. Nuklir itu memecahkan diri satu persatu dan melayang-layang di luar angkasa.
Suasana menjadi tenang. Sirene sudah terbungkam. Masalahku belum selesai. Penghianat-penghianat itu pasti akan kembali mengejarku. Kali ini aku mengambil sepeda motorku dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Seperti yang sudah kuduga, banyak sepeda motor yang mengejarku dari belakang. Mereka pun telah menghadang jalan keluarku dengan kendaraan.
Kukeluarkan pistolku dan mulai menembaki musuh di depanku. Mereka semua menembaki dari depan dan belakang. Aku meliuk-liuk dan berbelok dengan tajam untuk menghindari terjangan peluru. Kutembak tangki gas dari kendaraan yang menghadang di depanku. “BOOOM!” Ledakan itu tak bisa kuhindari. Bukannya berhenti, aku terus menerjang ke arah ledakan itu. “SWUSSH!”. Aku keluar dari balik asap yang gelap. Mirip seperti film-film action. Aku mendarat dan melaju kembali dengan sangat cepat.
“huf, aku berhasil lolos!”. Sepeda motorku melaju meninggalkan kawanan tentara itu. “DOOOR!”, roda sepeda motorku meledak. Aku tidak menyadari ada paku-paku di jalan. “Gawat, ini jebakan musuh!”. Tanpa menunggu aku meloncat dari sepeda motorku dan berlari masuk ke hutan. Aku terus berlari tanpa henti. Tiba-tiba, “SRAAK!”. Lagi-lagi aku terkena jebakan kuno. Aku tergantung-gantung di pohon dengan tali yang mengikat kakiku. Dapat kurasakan kedatangan musuh. Semakin dekat. Semakin dekat. Akhirnya, aku pun dapat melihat mereka. “Jangan mendekat!” aku mulai ketakutan. Entah kenapa, prajurit-prajurit itu menghentikan langkahnya. “Lihat!”, salah seorang prajurit menunjuk ke langit. Dalam posisi yang sulit, aku mengangkat tubuhku untuk melihat langit. “NUKLIR!”.
“KABOOOOMMMMM !”.
---------------------------------------------------------------------
-THE END-
……………………………………………………………
Kenapa? Apakah pembaca kebingungan? Apa perlu dijelaskan!? Anggap saja bagian vital dari nuklir itu masuk ke atmosfer bumi dan menjadi meteor. Ini kan hanya imajinasi. Tak perlu terikat pada realita. Imajinasi itu sangat luas. Lebih luas dari alam semesta.
Sudah saatnya aku menutup kisahku. Inilah akhir dari mimpiku. Sekarang aku dapat tidur dengan tenang. Memulai kehidupan baru yang indah. Menyusuri jagat raya nan luas. Mendaki langit, menggali bumi. Selamat tinggal semuanya.

-REALLY THE END-

3 komentar:

  1. Karya keduaku.
    Jelas terlihat bahwa cara ku menyampaikan kisahnya tidak seburuk karya pertama. Ku yakin karna perbedaan tahun pembuatan. Karya pertamaku kubuat ketika aku masih kelas 10 SMA. Namun, sekarang aku sudah kelas 11. Akan ku gapai impian masa depan yang cerah.

    BalasHapus
  2. Sudah sedikit di edit dari post yang sebelumnya. Diberi sedikit tambahan untuk memperjelas cerita. Silahkan dibaca kembali. (Jika memang penasaran)

    BalasHapus
  3. Buat lanjutannya dong....
    kan lbh seru tuh....

    BalasHapus